Wednesday, November 21, 2012

Hari ini ayahku wafat. Dia ayah yang baik bagiku. Dia suami yang baik bagi ibuku. Dia adalah pahlawan bagi kami semua. Kasih sayang juga perlindungannya yang lembut dan sederhana pada kami, membuatku semakin percaya bahwa cinta adalah sebuah kesempurnaan…

Aku ingat, ketika masih kecil, aku selalu mendapat cerita sebelum tidur. Ada banyak cerita yang menyenangkan, tentang rembulan dan hujan. Atau tentang si kancil dan kura-kura yang berjalan lambat. Betapa hangat aku dipeluknya sebelum akhirnya aku lelap dalam mimpi indah. Tapi semenjak ayah bertugas di luar kota, cerita sebelum tidur itu hanya terdengar seminggu sekali. Tentu saja, selama di luar kota, kami sangat merindukannya untuk cepat pulang. Aku senang ketika setiapkali ayah pulang. Di depan pintu, ia mencium kening ibu dihadapanku, dan mengajak kami makan malam di akhir pekan yang selalu indah.

Setelah aku besar, dia masih tetap sosok yang sangat mesra dan perkasa. Cintanya pada ibu semakin romantis dan bijaksana. Ayah adalah lelaki terbaik bagi ibu, begitupun sebaliknya. Selama rumah tangga, mereka tak pernah bertengkar. Jika ada persoalan, mereka akan menyelesaikannya dengan baik-baik dan penuh humor. Kalaupun dulu aku pernah melihat ibu menangis, itu terjadi ketika ia sangat bahagia mendapat hadiah ulang tahun, atau ketika ayah jatuh sakit. Selebihnya, ibu memilki senyum yang panjang disamping ayah. Itulah ayah, pria yang lembut dan penuh pengertian. Tapi dia kini tinggal kenangan. Setelah satu minggu terbaring dengan tubuh sakit-sakitan, kematian akhirnya merangkulnya.

Ibu pasti sangat sedih kehilangan ayah, melebihi kesedihan siapapun. Air matanya tak henti mengalir semenjak pertama kalinya ayah jatuh sakit hingga kini wafat. Hanya aku kini satu-satunya milik ibu. Kerabat ibu sudah lama tak terdengar lagi kabarnya. Menjadi kebahagiaan terbesarku jika kini aku akan menghabiskan masa remajaku untuk menjaga dan menemani ibu, menghapus kesedihan ibu. Kami akan tetap tinggal di rumah sederhana ini. Rumah dari kerja keras ayah selama ini.

Aku merangkul ibu yang masih menangis di hadapan jenazah ayah. Doa-doa terdengar dari mulut orang-orang yang sejak pagi tadi duduk melingkar depan jenazah. Sebelum dzuhur jenazah ayah rencananya akan dikebumikan. Kini kami tinggal menunggu beberapa teman ayah dari luar kota yang rencananya akan datang ke sini. Setelah itu segalanya sudah dipersiapkan dengan baik.

Pukul setengah sepuluh teman-teman ayah mulai berdatangan. Mereka turut berbela sungkawa. Ada yang bercerita panjang lebar tentang pengalaman masa kecilnya dengan ayah. Ada juga yang bercerita tentang kebaikan-kebaikan ayah selama hidup. Atau ada seorang perempuan dengan dua anak kecil-kecil yang tiba-tiba menangis keras di hadapan jenazah ayah…

“Mas, maafkan aku…” ucapnya pelan di sela tangisnya. Perempuan itu, dan kedua anaknya, terdengar menangis demikian pedih di hadapan jenazah ayah. Aku perlahan menghampiri ibu yang mulai berhenti menangis. Ia menatapku perlahan.

“Ibu tak tahu siapa mereka…” ucapnya parau. Aku mencoba tersenyum dan merangkulnya. Tak lama kemudian aku melihat perempuan asing itu bangkit, mengusap air matanya dan membawa kedua anaknya yang tak henti menangis keluar ruangan. Aku diam-diam mengikutinya dari belakang sampai akhirnya mereka masuk ke dalam taksi yang sudah menunggu di halaman rumahku. Aku melihat mereka memilki kesedihan yang lebih besar dari kami, dari ibuku. Anak-anak yang lucu. Anak-anak yang tak henti menangis dan meronta-ronta tak mau berada di dalam taksi. Anak-anak yang memanggil nama ayah dalam tangis mereka yang memilukan…

Jendela Kamar

Mataku perih setiapkali membaca buku lebih dari 15 menit. Perlahan kututup buku Manusia Yang Dicintai dan Dibenci Allah. Jam menunjukkan pukul 4 sore. Tapi di luar cuaca masih panas. Dari jendela kamarku, terlihat daun kering jatuh dan awan perlahan bergerak. Aku bangkit, menghela napas yang belakangan ini terasa tak nyaman, sesak. Kubuka kalender, angka-angka tak terasa terus berlarian, meski sudah kulingkari. Aku mendengar dari sini suara hilir mudik kendaraan saling bersahutan. Aku merasakan di ruang kepalaku sesuatu yang mengeras, ingin meledak. Kutenggak air mineral. Kurasakan airnya tersekat di tenggorokan. Terdengar suara ayam berkokok di samping rumah, juga burung-burung di pohon dan suara bocah menangis entah dari sebelah mana.

Dari jendela kamar kecil ini, aku merasa langit tawar. Tak lama seseorang membuka pintu kamarku, dan menutupnya kembali. Ada suara ribut di tetangga sebelah, suara pertengkaran pasangan pengantin yang baru menikah tiga bulan yang lalu.

Terlihat seorang lelaki berjalan menuju rumahku, dan mengetuk pintuku dengan keras. Aku perlahan membuka pintu dan menemukan wajahnya yang pucat. Dia duduk tergesa, menghela napas dan menatapku dengan cemas.

“Kiamat sudah dekat, kiamat sudah dekat.” Ucapnya berulang-ulang. Aku menuang air putih ke dalam gelas dan memberikan padanya. Ia mereguknya hingga habis.
Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela.

“Tanda-tanda kiamat sudah muncul. Bayangkan saja, adzan sudah jarang terdengar lagi. Adzan dzuhur dan Ashar hari ini juga tak terdengar dari mesjid-mesjid. Kata ustad, tanda-tanda kedatangan kiamat itu salah satunya jika suara seruan adzan sudah tak ada lagi. Kiamat sudah dekat…” desisnya.

Aku bangkit perlahan. Cukup lama kami hening. Tak lama kemudian lelaki itu bangkit dan keluar dari kamarku. Dari jendela kamar ini, aku melihat ia berjalan menjauh. Dia belum tahu bahwa hari ini PLN kembali melakukan pemadaman listrik bergilir.

Ponselku menjerit-jerit. Ada panggilan telepon entah dari siapa. Aku melihat layarnya berkedip-kedip, dan tak lama kemudian redup kembali. Hening kembali. Kuambil jaket, dan kukenakan. Kutatap cermin, dan kusisir rambutku perlahan. Kumatikan ponselku, dan aku mengunci kamarku. Aku mengunci semuanya, kecuali jendela kamar. Lihatlah, langit berwarna senja.
Sumedang, Juli 2008

Di Teras Masjid

Mesjid terletak cukup jauh dari jalan utama. Dari kejauhan kubahnya terlihat memantulkan cahaya matahari siang ini. Kubah itulah yang membuat aku jadi mudah menemukan arah menuju mesjid. Setelah melewati beberapa kelokan dan gang-gang rumah, aku sampai di halaman mesjid yang luas.
Shalat dzuhur sudah setengah jalan. Tapi masih terlihat banyak orang berkumpul di teras mesjid, melepas sepatu, melipat lengan kemeja, menggulung sarung, mematikan rokok, menyisir rambut dan sebagian yang lain berbondong-bondong menuju tempat berwudhu. Ada laki-laki, ada juga perempuan.
Segar sekali terasa air wudhu di kulit wajahku setelah lama terbakar matahari. Macam-macam orang datang ke tempat ini, dari pedagang asongan hingga pekerja kantoran, sedangkan aku belum punya pekerjaan. Ini hari keempat aku kesana-kemari mencari arah.
Masuk ke ruangan mesjid yang teduh, shalat sudah selesai. Aku baru memulai shalat di pojok bagian kanan dekat jendela. Sudah mulai terdengar riuh lagi di teras mesjid. Sepertinya mereka punya waktu 5 menit untuk bersantai di teras mesjid sampai akhirnya harus kembali pada aktivitas mereka.
Sepanjang shalat, obrolan orang-orang di teras mesjid silih-berganti merasuki lubang telingaku. Mereka membicarakan banyak hal, tentang bisnis, pemilu, sepakbola, musik, perkuliahan, asmara, atau tentang isterinya yang cerewet dan tetangga rumah yang menyebalkan. Yang satu selesai dan pergi, datang yang lain mengobrol. Suara mereka hilir mudik, lalu berputar di kepalaku.
“Isteri saya cerewet, Mbak, hobinya minta uang…”
“Kalau suami saya jarang pulang ke rumah…”
Dari arah yang lain, aku mendengar anak kecil menangis. Atau suara dua orang yang tertawa membicarakan pemilu. Terdengar juga suara orang menguap.
“Jadi mau gak ke Malaysia? Gajinya besar lho.”
“Mau, mau…”
“Sepatu saya hilang, tadi disimpan disini…”
“Hello, sayang… maaf ya tadi gak diangkat, papa lagi sholat… apa? Tenang, tenang, suruh Melia ngutang dulu…”
“Menurut saya, sih, Barack Obama menang.”
“Ah, pasti yang menang Persija.”
“Hallo, siapa nih? … ya, ya.. I love you too.”
“Gue pikir si Joli itu laki-laki…”
“Ah, susah Bang, dari tadi pagi cuma laku rokok 5 batang.”
“Salam ya buat Merlyn. Saya duluan, Bang. Eh, mau ke Bandung naik bis apa ya?”
“Tin, sebenarnya aku cinta kamu, cuma orang tuaku gak setuju, ya… hallo… hallo.. hallo! Tini!”
Atau tak sengaja kudengar bisik-bisik ini:
“Apa kamu serius ingin berselingkuh denganku…”
“Dia minta uang 50 juta, urusan lancar.”
“Tuhan ada gak sih, Bang?”
“Ssst, Pak Doni ngajak kencan anakku ke hotel. Gimana ya?”
“Hallo, Mas, saya hamil. Saya minta tanggung jawab kamu hari Senin.”
“Dia kan pejabat, lho kok pesan pelacur”
“Apa?! Jadi isteriku jadi pacarmu?!”
“Jangan coblos dia, bapaknya PKI!”
“Jadi mau bayar berapa untuk satu nyawa?”
“Siapa nama kucingmu?”
“Sepatu saya hilang, tadi disimpan disini…”
“Ok, saya sekarang berangkat ke New York.”
“Ya, saya pikir gula Jawa itu tak disukai anak kita. Jadi harga minyak tak sebanding dengan rencana burung perkutut. Oleh karena itu…”
Shalatku baru dua rakaat. Di teras mesjid, orang-orang silih berganti datang dan pergi, berbincang tentang banyak hal.
“Sawah mertuaku di Cirebon diserang hama wereng.”
“Kenapa mereka ingin sekali jadi walikota ya, Mas?”
“Susah sekarang mah cari uang teh…”
“Incar jabatan bukan demi rakyat, tapi demi uang”
“Excuse me, but may I introduce myself to you? My name is Ujang.”
“Minat gak? Canon Elura 100, dimensi 57x77x109 mm, 1/5 inci CCD, 1,3 mp kotor 690 kilopiksel efektif. 4 juta, nego!”
“Sepatu saya hilang, tadi disimpan disini…”
“Anakku, berjanjilah, jangan percaya hukum di indonesia.”
“Golput adalah salah satu cara untuk meminimalisir dosa..”
“Pinginnya Marni jadi pemain sepakbola, Bu, 900 juta pertahun!”
“Percayalah, Neng, demi kau aku akan berhenti merokok.”
“Saya lupa nama saya siapa…”
“Dia mah asal kita punya motor, pasti mau diajak kencan”
“Makin miskin sebuah negara, makin ganas korupsi”
“Bapakku koruptor lho…”
“Ya sudah, besok kita cerai ya..”
“Saya semalem mimpi buruk, Mas, yang jadi presiden Indonesia tahun depan akan mati dibunuh.”
“Sepatu saya hilang, tadi disimpan disini…”
“Nurustunjung eta awewe, abong geulis, sombong pisan!”
“Hallo… apa? Anak kita mati? Horeeee!”
“Tahun 2005 saya tak beragama, tahun 2006 agama saya Hindu, 2007 Kristen, 2008 masuk Islam, rencananya 2009 saya akan mendirikan agama baru…”
“Tadi saya lupa sholat cuma 3 rakaat, harusnya empat.”
“Preman, mahasiswa, politikus, kiyai, sekarang mah sama-sama doyan kekerasan.”
“Duh seandainya bahan bakar mobil itu kertas…”
“Ya, Bang, listriknya dikorupsi..”
“Wah, persoalan dimana-mana. Banyak orang butuh pertolongan kita…”
“Gue sih asyik-asyik aja. Emang gue pikirin!”
“Lu kan punya bodi aduhai, tampang no 2, pasti deh sukses!”
“Kau tahu kan Joaquin Phoenix?”
“Sepatu saya hilang, tadi disimpan disini…”
“Kanker payudara itu apa sih, Mas?”
“Innalilahi, Mas, biaya pendidikan sekarang makin mahal, makin banyak orang yang tak bisa sekolah, makin banyak orang yang bodoh.”
“Ya…tahun depan aku mau poligami, nduk, tabunganku sudah banyak.”
Shalatku selesai. Aku mulai berdoa. Tapi obrolan orang di teras mesjid terus terdengar…
“Aku mau tobat, tapi masih miskin.”
“Ayo tebak, tikus apa yang pake sepatu?”
“Ya, uang banyak dan dosa bertumpuk.”
“Rokok, rokok. Rokok Mas. Ada tissue, Mbak, Teh botol, gunting kuku… uuuh!”
“Katanya sih mau bunuh diri, tapi gak jadi, soalnya kuliahnya belum kelar.”
“Pancasila yang ke-5 apa, Bang?”
“Sepatu saya hilang, tadi disimpan disini…”
“Stress kronis bisa merusak kekebalan tubuh, Mas.”
“Ik verlang naa jou, ik hou van jou…udah dulu ya, pulsanya mau abis, muach!”
“Anak tetangga kita kurang gizi, Pa…”
“Si Uus putus sekolah, bapaknya tukang mabuk.”
“Sepatu saya hilang, tadi disimpan disini…”
“Saya menganggur 5 tahun…”
“Wah, bagus dong!”
Selesai berdoa, aku langsung keluar mesjid. Aku heran, sepatuku sudah tak ada di tempatnya lagi. Aku cari sepatuku di sekitar mesjid, tapi nihil. Di rak sepatu, juga tak ada. Hampir lima menit lamanya aku mencari sepatuku, tetap tak ada hasil. Tanya sana, tanya sini, tak ada yang tahu. Aku menghela napas panjang, tak enak rasanya.
“Ada apa, Mas, kayak orang bingung gitu?” tanya seseorang padaku.

Catatan Dendam

Di sana, di pojok sebuah taman, si Pak Tua menulis di buku hariannya, tentang kesedihan cinta, juga tentang dendam:

Aku menerima cukup kesedihan sepanjang hidupku. Di masa kecilku, kesedihan yang paling menyakitkan terjadi setiapkali aku berada di kolam renang. Di usia remajaku, kesedihan yang sangat memalukan muncul setiapkali aku pulang sekolah. Di masa aku tumbuh dewasa, kesedihan itu terasa tajam ketika seseorang yang sangat kucintai meludahi wajahku. Dan kini, di usiaku yang tua, kesedihan itu setiap hari berputar-putar di depan mataku, dan menusuk-nusuk dalam dadaku. Hidup ini penuh kekecewaan…

Pak Tua menghentikan tangannya sejenak. Ia menatap langit, lalu menghela napas dengan gemetar. Rambutnya yang mulai sedikit memutih dan garis-garis tua dan rasa takut di wajahnya, seolah-olah telah melipat menyembunyikan separuh ingatannya tentang masa lalu. Perlahan tangannya kembali bergerak:

Ketika sekolah dulu, aku selalu kalah dalam ujian berenang. Ketika teman-teman lelaki yang lain mendapat tepuk tangan, aku hanya menjadi bahan tertawaan banyak teman-teman perempuan, termasuk Kirana. Ya, Kirana Amna, teman perempuanku yang cantik. Sudah lama aku suka padanya. Tapi kejadian di kolam renang itu membuatku sangat malu di hadapanya. Sepulang berenang, aku perlahan memberanikan diri mendekatinya, dan bilang meski aku tak bisa berenang, tapi aku pandai menggambar. Ah, Kirana sedikit pun tak tertarik. Ia lebih suka berjalan dengan yang lainnya, mengobrol tentang liburan akhir pekan dan boneka baru berwarna pink, tanpa sedikitpun mau memandangku. Aku sangat tersinggung…

Tangan Pak Tua gemetar setiapkali teringat masa kecilnya. Ia merasakan kembali kesepian itu, saat ia duduk sendirian di pojok kolam renang, dengan tubuh menggigil, menatap diam-diam wajah Kirana sebelum akhirnya ditinggalkan banyak teman-temannya, karena tak pernah becus berenang. Mata Pak Tua mulai berkaca-kaca, justru saat ia tiba-tiba mengingat lagi banyak hal, dan menuliskannya:

Aku memaksa orang tuaku untuk memasukkanku di sekolah menengah tempat Kirana bersekolah. Melihatku satu kelas dengannya, tak sedikitpun ia menampakkan rasa gembira, juga rasa sedih. Tak pernah ia tersenyum padaku, apalagi menyapaku. Segalanya terasa tawar. Masa remajaku, sungguh sepi, tak ada teman. Setiap kali pulang sekolah, aku sering di minta uang oleh kakak kelas, dan dipukuli. Mereka mendorongku, menyuruhku membuka baju dan merangkak. Mereka tertawa-tawa, menumbuhkan rasa dendam di dadaku. Tapi kenapa peristiwa itu harus terjadi di hadapan Kirana?

Berulangkali kudekati Kirana, berulangkali ia menjauh. Berulangkali dengan gemetar kuucapkan perasaan cintaku padanya, berulangkali ia makin menjauh. Tak apalah, barangkali cinta butuh sikap keras kepala. Tapi aku tak tahu apa yang aku rasakan ketika suatu ketika Kirana meludahiku karena kesal yang tak aku pahami. Dalam dadaku saat itu, perasaan cinta, malu, marah dan sakit hati hanya terhalang sehelai kendali yang sangat tipis, dan akhirnya berbaur jadi satu. Kenapa cinta selalu menuntut kesempurnaan dan keberanian? Kenapa ia juga selalu menuntut kesabaran dan kebijaksanaan? Tapi kenapa di lain waktu, ia seringkali menuntut banyak hal tentang kekuasaan dan kemewahan?

Pak Tua terhenyak, ia buka dompetnya, muram menatap photo lusuh wajah Kirana yang pernah ia curi bertahun-tahun yang lalu. Ia perlahan menutupnya, dan mulai menulis kembali:

Selesai sekolah menengah, aku terpisah dengan Kirana. Keluarganya pindah ke Jakarta. Tapi, entahlah, jarak ini membuat cintaku jadi semakin kuat padanya. Beberapa tahun kemudian, aku memberanikan diri datang ke kotanya, dan berhari-hari aku mencari kabar dan alamatnya. Aku tak mengerti kenapa Kirana menyukai kota besar seperti ini. Kota yang bising dan panas. Tapi entahlah, kekuatan apa yang merasuki tubuhku, hingga masih kuat menahan lapar dan siksa cuaca. Jika setiapkali malam datang, aku tidur di mesjid-mesjid. Telah ribuan doa yang sama kupanjatkan pada Tuhan, doa harapan dapat pekerjaan di kota besar ini, dan harapan terbesar bertemu Kirana…

Pak Tua terbatuk-batuk. Matanya berlinang air mata. Angin bertiup terasa dingin. Perlahan ia kenakan mantelnya, dan mulai menulis lagi:

Satu dua pekerjaan sempat aku jalani, tapi ingatan tentang Kirana terus menghantuiku. Setahun kemudian, aku diajak seseorang untuk bekerja menjadi pengurus taman dan pelayan di rumah orang kaya. Ah, Tuan majikan yang sombong dan kasar, Nyonya majikan yang tiba-tiba hadir menyulut kekagumanku sekaligus kemarahan, juga dua pembantu yang menyebalkan. Hidup seringkali mengejutkan, kadang membesarkan hati, kadang pula perlahan menghancurkan hati. Kenapa Tuhan mengirim aku ke tempat yang…tak tepat?!

Di rumah itu, sesekali aku dapat memanjakan harapanku, bisa bertahan hidup, bisa makan sehari-hari, dan mendapat upah yang cukup dari Tuan yang kaya itu. Tapi, kedua majikanku kerapkali merendahkan dan mengecewakanku dengan keseharian dan kenyataan mereka. Hingga terasa sepi di hatiku, juga terasa menyakitkan. Usiaku saat itu 28 tahun, usia yang masih kuat melakukan pekerjaan-pekerjaan berat, tapi kenapa teramat lemah menahan emosi dan gejolak perasaan?
***

Malam makin menyembunyikan warna langit. Pak Tua perlahan berdiri, berjalan gemetar di halaman belakang rumah yang temaram. Lampu taman di salah satu sudut tampak pecah, hingga membuat gelap separuh taman, membuat gelap separuh wajahnya. Ia sentuh bunga-bunga taman dengan perasaan yang dingin. Ia menghela napas berat, perlahan menatap sekeliling. Rumah megah ini terasa semakin sepi. Pak Tua kembali duduk di bangku taman, dan menulis:

Ketika usiaku mulai tua kini, segalanya tak berubah, tak terkecuali kesedihan. Aku masih bekerja di rumah ini, merawat bunga-bunga, mencuci mobil, dan menjaga pintu rumah semalaman. Selama 30 tahun itu, aku telah bekerja keras untuk bersabar dan menahan diri, tapi dendam terlanjur menumpuk. Siapa suruh begitu lancang melengkapi dendamku. Bertahun-tahun aku berikan kepatuhanku pada pasangan suami isteri itu, dengan cukup alasan tersembunyi tentang harapan dan perasaan. Apakah cinta juga mesti menuntut kepatuhan? Ah, mereka lebih memperlihatkan padaku sebuah kemesraan mereka daripada kata-kata yang menyenangkanku…

Pak Tua berdiri dan mengela napas panjang. Terasa sesak penuh kesedihan dan kehampaan. Tak lama kemudian ia masuki pintu belakang rumah dan melangkah menuju dapur. Di sana ia melihat dua tubuh pembantu terpotong-potong bersimbah darah. Kemudian ia masuk ke ruang tamu, dan menaiki tangga menuju kamar majikan. Perlahan ia buka pintu kamar. Tampak Nyonya majikannya terbaring di atas tempat tidur. Tubuhnya berlumuran darah. Di lantai di bawah tempat tidur, tubuh Tuan majikannya berserakan terpisah-pisah. Si Pak Tua terbakar gentar. Menjelang sore tadi, ia telah membunuh mereka, juga dua pembantunya.

Perlahan ia baringkan tubuhnya di samping mayat Nyonya majikannya. Dengan gemetar, ia sentuh wajah perempuan itu. Wajah yang mulai tua, tapi tak jua menghapus kecantikan mudanya. Pak Tua tersenyum melihatnya, dan perlahan mencium keningnya yang dingin. Perlahan ia ambil pisau di balik punggungnya. Dengan mata terpejam, ia tusukkan mata pisau itu dengan keras di dadanya sendiri. Darah mengucur dari lubang di dadanya. Ia perlahan terkulai, menatap redup wajah Nyonya majikannya.

“Kenapa dari dulu kau tak pernah mau meminta maaf padaku? Kenapa dari dulu kau tak pernah mau mencintaiku, Kirana?” mulut Pak Tua mendesis parau. Di atas tempat tidur, ia genggam erat tangan Nyonya majikannya, tiga detik sebelum kematian akhirnya merenggut juga nyawanya.

“Marman? Teman sekolahku dulu? Oh, ya aku ingat, yang tak bisa berenang itu kan? Oh, yang merangkak tak pakai baju kan? Ha…ha… Sudah siap bekerja di sini? Sudah menikah belum? Lho kok belum menikah, kasihan banget. Kapan mau menikah?”***

Perahu yang akan segera berlayar

Di sini, berjuta orang merindukan cahaya masa depan yang menyala terang, terlihat dari kejauhan titik cahayanya seperti kerlip bintang di ujung lautan. Mereka akan bergegas berangkat dengan biduk-biduk kecil yang mengikatkan talinya pada kekuatan laju perahu besar bernama waktu, takdir, nyanyian dan impian berjuta manusia. Perahu besar yang berlabuh setiap setahun sekali, menepi selama sebulan, dan kelak menarik apapun yang menambatkan temali pada tiangnya yang kokoh. Perahu besar itu menampung seribu dewa yang menunggu anak-anaknya. Mereka menunggu, berteriak, bernyanyi, mengeluh, memberi semangat dan menangis.

Sementara waktu telah berjalan begitu cepat, menghitung sisa hari seperti ketukan detik jam yang melekat pada bom waktu, dan itu artinya setiap orang di pulau harus bergegas mempersiapkan bekal sebelum akhirnya kapal besar itu berangkat meninggalkan pulau, sebelum kelak usia rapuh dalam kesendirian yang maha sepi. Mereka akan berbondong-bondong menuju negeri cahaya, membangun rumah, menikah dan melahirkan anak-anak yang akan melanjutkan sejarah dan silsilah.

Cahaya masa depan adalah kota harapan, tempat kebahagiaan dirumuskan dengan sempurna, kenikmatan dunia yang memanjakan raga dan jiwa. Orang-orang muda di pulau ini sudah bekerja keras mencari dan mempersiapkan cinta dan harta. Mereka diburu usia dan impiannya sendiri, berlomba dengan waktu, berdesakan meraih kesempatan untuk berangkat. Di sanalah aku berdiri, dengan jiwa yang kecewa, nanar menatap lautan, gemetar di antara keriuhan seribu manusia yang berlarian seperti layaknya ingin menyelamatkan diri dari ledakan bencana dan banjir besar.

Ya, aku terlambat mengejar laju waktu. Aku terlambat menulis kitab kehidupan yang harus aku wariskan untuk pulau ini. Aku terlambat mempersiapkan diri, bekal dan kekuatan. Lihatlah, langit mendung, biduk berderak digoyang riak, dan bayangan seorang perempuan yang bermata sendu tengah asyik menganyam hati dan usia diatasnya; nyanyiannya lamat, bayangannya bergoyang seperti asap, dan akhirnya hilang ditelan udara. Aku menerima isyarat itu dalam rinai hujan yang mulai turun. Berulangkali aku membaca pesannya dalam garis cuaca dan bintang. Pesan tentang cinta dan cahaya. Tapi gelisahku buncah, resahku rekah dalam arus darah di urat nadi tubuhku yang lemah dan lelah.

Betapa ingin aku memahami ombak dengan biduk kecil bersamanya, dialah perempuan yang berwajah lembut dan bersuara merdu ketika menerjemahkan puisi dan kehidupan. Betapa ingin aku menyentuh cahaya masa depan dengannya, dialah perempuan yang punya jemari yang halus ketika menulis suara malam dan isi hatinya. Bayangannya berkali-kali hadir, meliuk melahirkan suara yang manja pada ruang jiwaku. Tapi apakah hidup dan cita-cita bisa diselesaikan hanya dengan sebaris impian? Rasa takut seperti bahasa maut di urat leher sang pengecut. Aku berselisih dengan bayanganku sendiri. Harapan dan kenyataan saling bersahutan, menghibur sekaligus mencemoohku, membangkitkan dan menindihku.

Perempuan itu menyulam waktu dan rindu di ketinggian langit biru, betapa jauh kugapai dan kuterjemahkan dengan bahasaku. Perempuan dalam bayangan, wajah yang rekah dalam kata dan pinta. Ia bergumam pelan dalam khayalan. Hari-harinya akan terbuang dan melelahkan jika ia menunggu dan menemaniku di sini. Ia punya hak untuk berangkat lebih awal. Bagiku, ia perempuan yang cukup sempurna, sungguh disesali jika ia menungguku dan melepas kuncup-kuncup usia dan sisa waktu kebahagiaannya dalam dunia yang singkat ini. Sungguh disesali jika harapannya yang indah aku hambat dengan diri yang lemah, mudah lelah dan banyak salah ini. Ah, aku menyayanginya, itulah sebabnya aku akan merelakan ia berangkat kali ini, menuju tanah kebahagiaan. Kebahagiiaannya adalah kebahagiaanku.

Genta senja tiba-tiba berdentang, bunyi riak laut pada jangkar perahu yang diangkat memecah sunyi pada ruang jiwaku. Gema lengkingan terompet dari tiang utama perahu menggetarkan bibir pantai. Perahu akan segera berangkat, dan aku benar-benar sudah terlambat. Dadaku bergemuruh, selaksa riuh. Aku terpejam dalam diam, memilah jiwa dari rasa kecewa, menguatkan hati, bahwa kehidupan akan mengajarkan manusia untuk siap menerima kehilangan sesuatu yang sangat ia cintai. Pada letihku tetap tumbuh sang kekasih. Aku tersenyum menerjemahkan bayangan wajahnya pada warna langit. Aroma kenangan mulai tercium pada harum hujan. Aku merangkum senyumnya yang ranum pada doa-doa dan warna cuaca.

“Ya, perahu akan segera berangkat, perempuanku. Usia dan kata-kata telah menggeliat sangat cepat. Kau dan hidupmu tak punya waktu yang banyak untuk menungguku, akan butuh bertahun-tahun untuk menungguku. Cinta adalah harta yang sangat berharga dalam hidup manusia, maka aku mencintaimu, kekasihku. Betapa besar harapan untuk berangkat bersamamu. Tapi pergilah, jangan pedulikan aku, berangkatlah menuju cahaya masa depan dan kebahagiaan, tanpa aku…Telah lama sebilah belati berulangkali aku tancapkan di pusat hati dan ingatanku, dan seperti yang kau tahu, aku tak kunjung mati, aku tak bisa henti mencintaimu….”

bobodoran

-Nguseup
hiji waktu, aya tournament ngusep sa-kota garut, di tempat pendaftaran ahli-ahli tukang ngusep saling ngobrolkeun pangalaman maranehanana, tapi dina sakian loba nu ahli,aya 3 tukang ngusep nu rada adigung saling ngajagokeun upan maranehanana

Mang jajang: umpan nu paling hade mah, nya nu urang,karek ge asup kanu balong, teu sabaraha detik ku laukupanurang langsung disantok

mang oka: etamah teu sabaraha, nu kuringmah, umpan keur di pasangkeun kanu usep, eta lauk ting laloncat ka luhur sabari ngomong “mang burukeun eta umpan!!!!”

mang dadang: beu… sakitumah cetel keneh, yeuh saking hadena upan kuring,mun tiap minggu kuring ngusep, poe sabtuna lauk ti sababaraha tempat geus daratang ka imah kabehanana ngomong “mang tong hilap enjing ngusep ka balong abdi!!!”
hehe...

-buleud jeung bunder
 si udin : jang, uing boga tatarucingan,
gede mana antara BULEUD jeung BUNDER?
si ujang: teuing atuh?
si udin : nya gede keneh bunder atuh.
si ujang: enya kitu?
si udin : enya atuh, pan aya paribasa diteureuy buleud
kuring mah can pernah ngadenge diteureuy bunder
hartina bunder leuwih gede, apan can aya anu bisa
neureuyna,
si ujang: ah maneh mah ngarang

- Isti
Sakali waktu dikarumpulkeun sakumna warga nu aya di kampung Bojong Ocon. Pok, nu dianggap Pupuhu didinya nyarita ka sakumna Bapa-bapa warga di eta pilemburan nu geus ngarumpul dihiji lapang.
Pupuhu :
Hey sakalian warga kami, cing kami hayang nyaho.. saha diieu lembur nu teu sieun ku pamajikan. Nu teu sieun ku pamajikan, pindah ka kenca.. Nu Sieun ka katuhu…!!
( Atuh eta mah breng teh kabeh ka katuhu.., Berarti sarieun tah, kabeh ku pamajikan. Ngan aya hiji nu teu pindah.. Tah, wanian ieu mah yeuh, gerentes eta Pupuhu)
Pupuhu :
Naha mah geuning teu pindah? Kawasna maneh mah teu sieu nya ku pamajikan..?
( Ceuk eta Pupuhu ka salasaurang wargana nu teu pindah tempat )
Warga Nu teu pindah pok ngajawab,
Warga : Duka , da dipiwarang ku Pun bojo………
(bari paromana siga nu teu ieuh -ieuh)
Pupuhu : Eeeh…, enya sia kabeulah ditu…!!!

-Kedul
  Bu Guru = Adun kunaon poe senen teu sakola?
Adun = Punten bu, margi lancinan abdi diseuseuh jadi abdi teu sakola, margi abdi mung gaduh lancinan sakola hiji2na.
Bu Guru = Ari poe salasa kunaon teu sakola deui?
Adun = Abdi angkat bu ka sakola, namun waktos ngalangkung ka bumi Ibu guru, abdi ninggal anggoan seragam ibu dipoekeun, abdi uih deui margi pasti ibu guru mola sakola da anggoan nana di poekeun.
Bu Guru = ??????????? dasar ngedul!!!!
 -Cita-cita
Di Hiji sakolaan kelas 4 esde, Pa Jajang keur nanya tentang cita2 ka sakur murid2na
di absen saurang saurang titah kahareup.
Dodi : “”abdi mah mun toz ageung hoyong jadi dokter..!!!!!”"
Pa jajang : “”Alus pisan..sae sae..”"
Odang : “”abdi mah mun toz ageung hoyong jadi Presiden…!!”"
Pa jajang : “” hebat hebat….”"
Nunung : “” abdi mah mun toz ageung hoyong jadi suster….”"
Pa jajang : “” Nya alus sae..sae…”"
Siti : “” abdi mah mun toz ageung hoyong gaduh anak anu lucu “”
Pa jajang : “” wah alus pisan …eta cita2 anu mulia…bagus ..bagus..”"
Wawan : “” abdi mah mun toz ageung hoyong pisan ngabantu cita2 Siti, nyieun
anak anu lucu…!!!!”"
Pa jajang : “” Emh..Emh..????????!!!!!!!!!!”"
Atuh Geur salerea saleseurian…………….

-Tukang beca
Aya saurang mahasiswi naek beca, dina palebah pudunan mahasiswi eta katingalina siga anu araringgis palaur ngajuralit kusabab eta beca beuki lila beuki tarik wae ngaluncurna.
Bari tipepereket eta mahasiswi ngomong ka tukang beca :
Mahasiswi : “Mang kade mang…lalaunan atuh, abdi sieun…!!!”
Tukang beca : “Kalem Neng….!!!”
Jawaban si tukang beca lainna nyieun eta mahasiswi jadi tenang, kalakah beungeutna sepa beuki pias…salian beuki tarik eta beca ngaluncurna gudal gadil kakenca tur ka katuhu.
Mahasiswi : “Geus ah…eureun mang…eureuuuunn…ampuuuunnn….!!!”
Tukang beca : “Tenang Neng…!!!”
Mahasiswi : “Rek tenang kumaha…!!!??….abdi sieun…!!!”
Tukang beca : “Tenang we Neng…pami Neng sieun sok Peureum….siga abdi ayeuna ge Mamang keur Peureum…!!!”
Atuh si Neng Mahasiswi jadi ngoceak maratan langit.
Mahasiswi : “Aaahhh….Emmaaakkk…ampuuunnn…tuluuuuuungggg…..!!!”

-Si Rahul
 Hiji poe si Rahul nungtun anjing,ngaliwatan jalma gelo, ….
nu gelo :..”euy monyetna alu pisan euy”
Si Rahul : Dasar nu gelo “cing deuleu atuh..aing mah nungtun anjing…..”
nu gelo.. : Sha nu ngomong jeung sia dan aing mah ngomong jeung anjing….”

young CBR

hai semuanya,,,
perkenalkan,, kami adalah CBR Young Generation
terdiri dari para remaja putra dan putri yang tergabung dalam satu grup di suatu wilayah di sekitar Garut, Jawa Barat.
tujuan terbentuknya grup ini adalah untuk berinteraksi dengan sesama anggota lain dan juga mempererat hubungan silaturahmi