Hari ini ayahku
wafat. Dia ayah yang baik bagiku. Dia suami yang baik bagi ibuku. Dia
adalah pahlawan bagi kami semua. Kasih sayang juga perlindungannya yang
lembut dan sederhana pada kami, membuatku semakin percaya bahwa cinta
adalah sebuah kesempurnaan…
Aku ingat,
ketika masih kecil, aku selalu mendapat cerita sebelum tidur. Ada
banyak cerita yang menyenangkan, tentang rembulan dan hujan. Atau
tentang si kancil dan kura-kura yang berjalan lambat. Betapa hangat aku
dipeluknya sebelum akhirnya aku lelap dalam mimpi indah. Tapi semenjak
ayah bertugas di luar kota, cerita sebelum tidur itu hanya terdengar
seminggu sekali. Tentu saja, selama di luar kota, kami sangat
merindukannya untuk cepat pulang. Aku senang ketika setiapkali ayah
pulang. Di depan pintu, ia mencium kening ibu dihadapanku, dan mengajak
kami makan malam di akhir pekan yang selalu indah.
Setelah aku besar, dia
masih tetap sosok yang sangat mesra dan perkasa. Cintanya pada ibu
semakin romantis dan bijaksana. Ayah adalah lelaki terbaik bagi ibu,
begitupun sebaliknya. Selama rumah tangga, mereka tak pernah bertengkar.
Jika ada persoalan, mereka akan menyelesaikannya dengan baik-baik dan
penuh humor. Kalaupun dulu aku pernah melihat ibu menangis, itu terjadi
ketika ia sangat bahagia mendapat hadiah ulang tahun, atau ketika ayah
jatuh sakit. Selebihnya, ibu memilki senyum yang panjang disamping ayah.
Itulah ayah, pria yang lembut dan penuh pengertian. Tapi dia kini
tinggal kenangan. Setelah satu minggu terbaring dengan tubuh
sakit-sakitan, kematian akhirnya merangkulnya.
Ibu pasti sangat sedih
kehilangan ayah, melebihi kesedihan siapapun. Air matanya tak henti
mengalir semenjak pertama kalinya ayah jatuh sakit hingga kini wafat.
Hanya aku kini satu-satunya milik ibu. Kerabat ibu sudah lama tak
terdengar lagi kabarnya. Menjadi kebahagiaan terbesarku jika kini aku
akan menghabiskan masa remajaku untuk menjaga dan menemani ibu,
menghapus kesedihan ibu. Kami akan tetap tinggal di rumah sederhana ini.
Rumah dari kerja keras ayah selama ini.
Aku merangkul ibu yang
masih menangis di hadapan jenazah ayah. Doa-doa terdengar dari mulut
orang-orang yang sejak pagi tadi duduk melingkar depan jenazah. Sebelum
dzuhur jenazah ayah rencananya akan dikebumikan. Kini kami tinggal
menunggu beberapa teman ayah dari luar kota yang rencananya akan datang
ke sini. Setelah itu segalanya sudah dipersiapkan dengan baik.
Pukul setengah sepuluh
teman-teman ayah mulai berdatangan. Mereka turut berbela sungkawa. Ada
yang bercerita panjang lebar tentang pengalaman masa kecilnya dengan
ayah. Ada juga yang bercerita tentang kebaikan-kebaikan ayah selama
hidup. Atau ada seorang perempuan dengan dua anak kecil-kecil yang
tiba-tiba menangis keras di hadapan jenazah ayah…
“Mas, maafkan aku…”
ucapnya pelan di sela tangisnya. Perempuan itu, dan kedua anaknya,
terdengar menangis demikian pedih di hadapan jenazah ayah. Aku perlahan
menghampiri ibu yang mulai berhenti menangis. Ia menatapku perlahan.
“Ibu tak tahu siapa
mereka…” ucapnya parau. Aku mencoba tersenyum dan merangkulnya. Tak lama
kemudian aku melihat perempuan asing itu bangkit, mengusap air matanya
dan membawa kedua anaknya yang tak henti menangis keluar ruangan. Aku
diam-diam mengikutinya dari belakang sampai akhirnya mereka masuk ke
dalam taksi yang sudah menunggu di halaman rumahku. Aku melihat mereka
memilki kesedihan yang lebih besar dari kami, dari ibuku. Anak-anak yang
lucu. Anak-anak yang tak henti menangis dan meronta-ronta tak mau
berada di dalam taksi. Anak-anak yang memanggil nama ayah dalam tangis
mereka yang memilukan…