Di sini, berjuta orang
merindukan cahaya masa depan yang menyala terang, terlihat dari kejauhan
titik cahayanya seperti kerlip bintang di ujung lautan. Mereka akan
bergegas berangkat dengan biduk-biduk kecil yang mengikatkan talinya
pada kekuatan laju perahu besar bernama waktu, takdir, nyanyian dan
impian berjuta manusia. Perahu besar yang berlabuh setiap setahun
sekali, menepi selama sebulan, dan kelak menarik apapun yang menambatkan
temali pada tiangnya yang kokoh. Perahu besar itu menampung seribu dewa
yang menunggu anak-anaknya. Mereka menunggu, berteriak, bernyanyi,
mengeluh, memberi semangat dan menangis.
Sementara waktu telah berjalan begitu
cepat, menghitung sisa hari seperti ketukan detik jam yang melekat pada
bom waktu, dan itu artinya setiap orang di pulau harus bergegas
mempersiapkan bekal sebelum akhirnya kapal besar itu berangkat
meninggalkan pulau, sebelum kelak usia rapuh dalam kesendirian yang maha
sepi. Mereka akan berbondong-bondong menuju negeri cahaya, membangun
rumah, menikah dan melahirkan anak-anak yang akan melanjutkan sejarah
dan silsilah.
Cahaya masa depan adalah kota harapan,
tempat kebahagiaan dirumuskan dengan sempurna, kenikmatan dunia yang
memanjakan raga dan jiwa. Orang-orang muda di pulau ini sudah bekerja
keras mencari dan mempersiapkan cinta dan harta. Mereka diburu usia dan
impiannya sendiri, berlomba dengan waktu, berdesakan meraih kesempatan
untuk berangkat. Di sanalah aku berdiri, dengan jiwa yang kecewa, nanar
menatap lautan, gemetar di antara keriuhan seribu manusia yang berlarian
seperti layaknya ingin menyelamatkan diri dari ledakan bencana dan
banjir besar.
Ya, aku terlambat mengejar laju waktu.
Aku terlambat menulis kitab kehidupan yang harus aku wariskan untuk
pulau ini. Aku terlambat mempersiapkan diri, bekal dan kekuatan.
Lihatlah, langit mendung, biduk berderak digoyang riak, dan bayangan
seorang perempuan yang bermata sendu tengah asyik menganyam hati dan
usia diatasnya; nyanyiannya lamat, bayangannya bergoyang seperti asap,
dan akhirnya hilang ditelan udara. Aku menerima isyarat itu dalam rinai
hujan yang mulai turun. Berulangkali aku membaca pesannya dalam garis
cuaca dan bintang. Pesan tentang cinta dan cahaya. Tapi gelisahku
buncah, resahku rekah dalam arus darah di urat nadi tubuhku yang lemah
dan lelah.
Betapa ingin aku memahami ombak dengan
biduk kecil bersamanya, dialah perempuan yang berwajah lembut dan
bersuara merdu ketika menerjemahkan puisi dan kehidupan. Betapa ingin
aku menyentuh cahaya masa depan dengannya, dialah perempuan yang punya
jemari yang halus ketika menulis suara malam dan isi hatinya.
Bayangannya berkali-kali hadir, meliuk melahirkan suara yang manja pada
ruang jiwaku. Tapi apakah hidup dan cita-cita bisa diselesaikan hanya
dengan sebaris impian? Rasa takut seperti bahasa maut di urat leher sang
pengecut. Aku berselisih dengan bayanganku sendiri. Harapan dan
kenyataan saling bersahutan, menghibur sekaligus mencemoohku,
membangkitkan dan menindihku.
Perempuan itu menyulam waktu dan rindu di
ketinggian langit biru, betapa jauh kugapai dan kuterjemahkan dengan
bahasaku. Perempuan dalam bayangan, wajah yang rekah dalam kata dan
pinta. Ia bergumam pelan dalam khayalan. Hari-harinya akan terbuang dan
melelahkan jika ia menunggu dan menemaniku di sini. Ia punya hak untuk
berangkat lebih awal. Bagiku, ia perempuan yang cukup sempurna, sungguh
disesali jika ia menungguku dan melepas kuncup-kuncup usia dan sisa
waktu kebahagiaannya dalam dunia yang singkat ini. Sungguh disesali jika
harapannya yang indah aku hambat dengan diri yang lemah, mudah lelah
dan banyak salah ini. Ah, aku menyayanginya, itulah sebabnya aku akan
merelakan ia berangkat kali ini, menuju tanah kebahagiaan.
Kebahagiiaannya adalah kebahagiaanku.
Genta senja tiba-tiba berdentang, bunyi
riak laut pada jangkar perahu yang diangkat memecah sunyi pada ruang
jiwaku. Gema lengkingan terompet dari tiang utama perahu menggetarkan
bibir pantai. Perahu akan segera berangkat, dan aku benar-benar sudah
terlambat. Dadaku bergemuruh, selaksa riuh. Aku terpejam dalam diam,
memilah jiwa dari rasa kecewa, menguatkan hati, bahwa kehidupan akan
mengajarkan manusia untuk siap menerima kehilangan sesuatu yang sangat
ia cintai. Pada letihku tetap tumbuh sang kekasih. Aku tersenyum
menerjemahkan bayangan wajahnya pada warna langit. Aroma kenangan mulai
tercium pada harum hujan. Aku merangkum senyumnya yang ranum pada
doa-doa dan warna cuaca.
“Ya, perahu akan segera berangkat,
perempuanku. Usia dan kata-kata telah menggeliat sangat cepat. Kau dan
hidupmu tak punya waktu yang banyak untuk menungguku, akan butuh
bertahun-tahun untuk menungguku. Cinta adalah harta yang sangat berharga
dalam hidup manusia, maka aku mencintaimu, kekasihku. Betapa besar
harapan untuk berangkat bersamamu. Tapi pergilah, jangan pedulikan aku,
berangkatlah menuju cahaya masa depan dan kebahagiaan, tanpa aku…Telah
lama sebilah belati berulangkali aku tancapkan di pusat hati dan
ingatanku, dan seperti yang kau tahu, aku tak kunjung mati, aku tak bisa
henti mencintaimu….”
No comments:
Post a Comment