Mataku perih setiapkali membaca buku lebih dari 15 menit. Perlahan kututup buku Manusia Yang Dicintai dan Dibenci Allah.
Jam menunjukkan pukul 4 sore. Tapi di luar cuaca masih panas. Dari
jendela kamarku, terlihat daun kering jatuh dan awan perlahan bergerak.
Aku bangkit, menghela napas yang belakangan ini terasa tak nyaman,
sesak. Kubuka kalender, angka-angka tak terasa terus berlarian, meski
sudah kulingkari. Aku mendengar dari sini suara hilir mudik kendaraan
saling bersahutan. Aku merasakan di ruang kepalaku sesuatu yang
mengeras, ingin meledak. Kutenggak air mineral. Kurasakan airnya
tersekat di tenggorokan. Terdengar suara ayam berkokok di samping rumah,
juga burung-burung di pohon dan suara bocah menangis entah dari sebelah
mana.
Dari jendela kamar
kecil ini, aku merasa langit tawar. Tak lama seseorang membuka pintu
kamarku, dan menutupnya kembali. Ada suara ribut di tetangga sebelah,
suara pertengkaran pasangan pengantin yang baru menikah tiga bulan yang
lalu.
Terlihat seorang lelaki
berjalan menuju rumahku, dan mengetuk pintuku dengan keras. Aku
perlahan membuka pintu dan menemukan wajahnya yang pucat. Dia duduk
tergesa, menghela napas dan menatapku dengan cemas.
“Kiamat sudah dekat,
kiamat sudah dekat.” Ucapnya berulang-ulang. Aku menuang air putih ke
dalam gelas dan memberikan padanya. Ia mereguknya hingga habis.
Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela.
“Tanda-tanda kiamat
sudah muncul. Bayangkan saja, adzan sudah jarang terdengar lagi. Adzan
dzuhur dan Ashar hari ini juga tak terdengar dari mesjid-mesjid. Kata
ustad, tanda-tanda kedatangan kiamat itu salah satunya jika suara seruan
adzan sudah tak ada lagi. Kiamat sudah dekat…” desisnya.
Aku bangkit perlahan.
Cukup lama kami hening. Tak lama kemudian lelaki itu bangkit dan keluar
dari kamarku. Dari jendela kamar ini, aku melihat ia berjalan menjauh.
Dia belum tahu bahwa hari ini PLN kembali melakukan pemadaman listrik
bergilir.
Ponselku
menjerit-jerit. Ada panggilan telepon entah dari siapa. Aku melihat
layarnya berkedip-kedip, dan tak lama kemudian redup kembali. Hening
kembali. Kuambil jaket, dan kukenakan. Kutatap cermin, dan kusisir
rambutku perlahan. Kumatikan ponselku, dan aku mengunci kamarku. Aku
mengunci semuanya, kecuali jendela kamar. Lihatlah, langit berwarna
senja.
Sumedang, Juli 2008
No comments:
Post a Comment