Di sana, di pojok sebuah taman, si Pak Tua menulis di buku hariannya, tentang kesedihan cinta, juga tentang dendam:
Aku menerima cukup kesedihan sepanjang
hidupku. Di masa kecilku, kesedihan yang paling menyakitkan terjadi
setiapkali aku berada di kolam renang. Di usia remajaku, kesedihan yang
sangat memalukan muncul setiapkali aku pulang sekolah. Di masa aku
tumbuh dewasa, kesedihan itu terasa tajam ketika seseorang yang sangat
kucintai meludahi wajahku. Dan kini, di usiaku yang tua, kesedihan itu
setiap hari berputar-putar di depan mataku, dan menusuk-nusuk dalam
dadaku. Hidup ini penuh kekecewaan…
Pak Tua menghentikan tangannya sejenak.
Ia menatap langit, lalu menghela napas dengan gemetar. Rambutnya yang
mulai sedikit memutih dan garis-garis tua dan rasa takut di wajahnya,
seolah-olah telah melipat menyembunyikan separuh ingatannya tentang masa
lalu. Perlahan tangannya kembali bergerak:
Ketika sekolah dulu, aku selalu kalah
dalam ujian berenang. Ketika teman-teman lelaki yang lain mendapat tepuk
tangan, aku hanya menjadi bahan tertawaan banyak teman-teman perempuan,
termasuk Kirana. Ya, Kirana Amna, teman perempuanku yang cantik. Sudah
lama aku suka padanya. Tapi kejadian di kolam renang itu membuatku
sangat malu di hadapanya. Sepulang berenang, aku perlahan memberanikan
diri mendekatinya, dan bilang meski aku tak bisa berenang, tapi aku
pandai menggambar. Ah, Kirana sedikit pun tak tertarik. Ia lebih suka
berjalan dengan yang lainnya, mengobrol tentang liburan akhir pekan dan
boneka baru berwarna pink, tanpa sedikitpun mau memandangku. Aku sangat
tersinggung…
Tangan Pak Tua gemetar setiapkali
teringat masa kecilnya. Ia merasakan kembali kesepian itu, saat ia duduk
sendirian di pojok kolam renang, dengan tubuh menggigil, menatap
diam-diam wajah Kirana sebelum akhirnya ditinggalkan banyak
teman-temannya, karena tak pernah becus berenang. Mata Pak Tua mulai
berkaca-kaca, justru saat ia tiba-tiba mengingat lagi banyak hal, dan
menuliskannya:
Aku memaksa orang tuaku untuk
memasukkanku di sekolah menengah tempat Kirana bersekolah. Melihatku
satu kelas dengannya, tak sedikitpun ia menampakkan rasa gembira, juga
rasa sedih. Tak pernah ia tersenyum padaku, apalagi menyapaku. Segalanya
terasa tawar. Masa remajaku, sungguh sepi, tak ada teman. Setiap kali
pulang sekolah, aku sering di minta uang oleh kakak kelas, dan dipukuli.
Mereka mendorongku, menyuruhku membuka baju dan merangkak. Mereka
tertawa-tawa, menumbuhkan rasa dendam di dadaku. Tapi kenapa peristiwa
itu harus terjadi di hadapan Kirana?
Berulangkali kudekati Kirana,
berulangkali ia menjauh. Berulangkali dengan gemetar kuucapkan perasaan
cintaku padanya, berulangkali ia makin menjauh. Tak apalah, barangkali
cinta butuh sikap keras kepala. Tapi aku tak tahu apa yang aku rasakan
ketika suatu ketika Kirana meludahiku karena kesal yang tak aku pahami.
Dalam dadaku saat itu, perasaan cinta, malu, marah dan sakit hati hanya
terhalang sehelai kendali yang sangat tipis, dan akhirnya berbaur jadi
satu. Kenapa cinta selalu menuntut kesempurnaan dan keberanian? Kenapa
ia juga selalu menuntut kesabaran dan kebijaksanaan? Tapi kenapa di lain
waktu, ia seringkali menuntut banyak hal tentang kekuasaan dan
kemewahan?
Pak Tua terhenyak, ia buka dompetnya,
muram menatap photo lusuh wajah Kirana yang pernah ia curi
bertahun-tahun yang lalu. Ia perlahan menutupnya, dan mulai menulis
kembali:
Selesai sekolah menengah, aku terpisah
dengan Kirana. Keluarganya pindah ke Jakarta. Tapi, entahlah, jarak ini
membuat cintaku jadi semakin kuat padanya. Beberapa tahun kemudian, aku
memberanikan diri datang ke kotanya, dan berhari-hari aku mencari kabar
dan alamatnya. Aku tak mengerti kenapa Kirana menyukai kota besar
seperti ini. Kota yang bising dan panas. Tapi entahlah, kekuatan apa
yang merasuki tubuhku, hingga masih kuat menahan lapar dan siksa cuaca.
Jika setiapkali malam datang, aku tidur di mesjid-mesjid. Telah ribuan
doa yang sama kupanjatkan pada Tuhan, doa harapan dapat pekerjaan di
kota besar ini, dan harapan terbesar bertemu Kirana…
Pak Tua terbatuk-batuk. Matanya berlinang
air mata. Angin bertiup terasa dingin. Perlahan ia kenakan mantelnya,
dan mulai menulis lagi:
Satu dua pekerjaan sempat aku jalani,
tapi ingatan tentang Kirana terus menghantuiku. Setahun kemudian, aku
diajak seseorang untuk bekerja menjadi pengurus taman dan pelayan di
rumah orang kaya. Ah, Tuan majikan yang sombong dan kasar, Nyonya
majikan yang tiba-tiba hadir menyulut kekagumanku sekaligus kemarahan,
juga dua pembantu yang menyebalkan. Hidup seringkali mengejutkan, kadang
membesarkan hati, kadang pula perlahan menghancurkan hati. Kenapa Tuhan
mengirim aku ke tempat yang…tak tepat?!
Di rumah itu, sesekali aku dapat
memanjakan harapanku, bisa bertahan hidup, bisa makan sehari-hari, dan
mendapat upah yang cukup dari Tuan yang kaya itu. Tapi, kedua majikanku
kerapkali merendahkan dan mengecewakanku dengan keseharian dan kenyataan
mereka. Hingga terasa sepi di hatiku, juga terasa menyakitkan. Usiaku
saat itu 28 tahun, usia yang masih kuat melakukan pekerjaan-pekerjaan
berat, tapi kenapa teramat lemah menahan emosi dan gejolak perasaan?
***
Malam makin menyembunyikan warna langit.
Pak Tua perlahan berdiri, berjalan gemetar di halaman belakang rumah
yang temaram. Lampu taman di salah satu sudut tampak pecah, hingga
membuat gelap separuh taman, membuat gelap separuh wajahnya. Ia sentuh
bunga-bunga taman dengan perasaan yang dingin. Ia menghela napas berat,
perlahan menatap sekeliling. Rumah megah ini terasa semakin sepi. Pak
Tua kembali duduk di bangku taman, dan menulis:
Ketika usiaku mulai tua kini, segalanya
tak berubah, tak terkecuali kesedihan. Aku masih bekerja di rumah ini,
merawat bunga-bunga, mencuci mobil, dan menjaga pintu rumah semalaman.
Selama 30 tahun itu, aku telah bekerja keras untuk bersabar dan menahan
diri, tapi dendam terlanjur menumpuk. Siapa suruh begitu lancang
melengkapi dendamku. Bertahun-tahun aku berikan kepatuhanku pada
pasangan suami isteri itu, dengan cukup alasan tersembunyi tentang
harapan dan perasaan. Apakah cinta juga mesti menuntut kepatuhan? Ah,
mereka lebih memperlihatkan padaku sebuah kemesraan mereka daripada
kata-kata yang menyenangkanku…
Pak Tua berdiri dan mengela napas
panjang. Terasa sesak penuh kesedihan dan kehampaan. Tak lama kemudian
ia masuki pintu belakang rumah dan melangkah menuju dapur. Di sana ia
melihat dua tubuh pembantu terpotong-potong bersimbah darah. Kemudian ia
masuk ke ruang tamu, dan menaiki tangga menuju kamar majikan. Perlahan
ia buka pintu kamar. Tampak Nyonya majikannya terbaring di atas tempat
tidur. Tubuhnya berlumuran darah. Di lantai di bawah tempat tidur, tubuh
Tuan majikannya berserakan terpisah-pisah. Si Pak Tua terbakar gentar.
Menjelang sore tadi, ia telah membunuh mereka, juga dua pembantunya.
Perlahan ia baringkan tubuhnya di samping
mayat Nyonya majikannya. Dengan gemetar, ia sentuh wajah perempuan itu.
Wajah yang mulai tua, tapi tak jua menghapus kecantikan mudanya. Pak
Tua tersenyum melihatnya, dan perlahan mencium keningnya yang dingin.
Perlahan ia ambil pisau di balik punggungnya. Dengan mata terpejam, ia
tusukkan mata pisau itu dengan keras di dadanya sendiri. Darah mengucur
dari lubang di dadanya. Ia perlahan terkulai, menatap redup wajah Nyonya
majikannya.
“Kenapa dari dulu kau tak pernah mau
meminta maaf padaku? Kenapa dari dulu kau tak pernah mau mencintaiku,
Kirana?” mulut Pak Tua mendesis parau. Di atas tempat tidur, ia genggam
erat tangan Nyonya majikannya, tiga detik sebelum kematian akhirnya
merenggut juga nyawanya.
“Marman? Teman sekolahku dulu? Oh,
ya aku ingat, yang tak bisa berenang itu kan? Oh, yang merangkak tak
pakai baju kan? Ha…ha… Sudah siap bekerja di sini? Sudah menikah belum?
Lho kok belum menikah, kasihan banget. Kapan mau menikah?”***
No comments:
Post a Comment